Pendidikan

Reputasi Lebih Berharga dari Sitasi

• Bookmarks: 141004


Seolah mengulang cerita beberapa tahun lalu, ada beberapa kasus yang “mewarnai” pengumuman Top 500 Rangking Peneliti Sinta tahun ini. Hal ini, tak lain dan tak bukan, adalah adanya indikasi bahwa beberapa peneliti dalam Top 500 Rangking Peneliti Sinta melakukan aksi “kartel sitasi”.

Kartel sitasi ini terdiri dari beberapa orang peneliti yang bersepakat untuk saling mensitasi satu sama lain pada paper mereka, sehingga h-index mereka naik dan dengan demikian mereka “terlihat” lebih unggul secara prestasi.

Di salah satu artikel yang lalu, saya pernah menjelaskan bahwa karya tulis ilmiah tidak ada harganya kalau tidak dibaca dan tidak bermanfaat untuk orang lain [1]. Fungsi dari publikasi ilmiah adalah mendiseminasikan ide yang telah kita ujikan melalui serangkaian proses yang terverifikasi, agar ide tersebut memperkaya dan menambah pengetahuan para peneliti di bidang kita, serta masyarakat umum yang mengambil manfaat dari hasil penelitian kita. Secara filosofis, tugas seorang peneliti sebenarnya sangat mulia: berlomba-lomba memberi manfaat untuk orang lain, sehingga ia akan mendapatkan sebuah kesadaran pribadi bahwa hidupnya di dunia ini berharga karena ia berkontribusi pada komunitas.

Apa h-index begitu pentingnya bagi seorang peneliti? Saya sendiri secara pribadi berpendapat bahwa h-index atau sitasi itu bukan SATU-SATUNYA cara untuk mengukur kebermanfaatan hasil penelitian seseorang. Saya lebih suka paper saya dibaca peneliti lain dan menginspirasi munculnya ide penelitian baru, daripada sekedar disitasi tanpa alasan yang jelas (sekedar memperpanjang daftar pustaka, misalnya). Bahkan beberapa orang pemenang Nobel Fisika pun tidak mendapatkan sitasi yang “terlalu tinggi” atas hasil karyanya [2]. Sayangnya, beberapa dari kita masih menganggap bahwa produktivitas seseorang bisa diukur dengan seberapa besar gross h-indexnya, terlepas dari mana datangnya sitasi yang menyebabkan tingginya h-index tersebut. Memang ini salah satu cara yang paling gampang, paling praktis, dan secara “politis” lebih mudah untuk dilaporkan kepada atasan maupun ditampilkan untuk seremoni publik.

Jika Anda lihat pengakuan para pemenang Nobel, mereka sendiri sebenarnya tidak terlalu bermimpi untuk menang Nobel sejak awal. Toh, tidak ada pengumuman bahwa ia diikutkan dalam perlombaan untuk mendapatkan Nobel Prize. Dari sebuah artikel yang ditulis oleh Linda Aiman , enam hal penting yang dilakukan oleh penerima Nobel justru tidak menggambarkan keingian sama sekali untuk mendapatkan h-index tinggi atau memenangkan hadiah Nobel itu sendiri:

  1. Bekerja dengan “passion” (ini sudah saya tuliskan di artikel saya yang lalu).
  2. Pilih permasalahan dengan dampak (implikasi) yang besar untuk masyarakat (choosing a big problem)
  3. Memiliki keberanian atas ide yang sedang ia perjuangkan dan ia teliti.
  4. Melatih kreativitas dengan mempelajari ilmu-ilmu yang terkait dengan seni, misalnya lukis atau seni yang lainnya. Kreativitas ini menjadi salah satu “modal” utama untuk menemukan kebaruan penelitian.
  5. Menjadi seseorang yang spesialis di bidangnya, sekaligus generalis di bidang-bidang lain (polymath). Kreativitas akan muncul jika kita bisa menggabungkan ide-ide yang ada di bidang lain untuk kita terapkan dalam riset kita. Jika Anda masih penasaran, Anda bisa membaca sejarah Charles Darwin menemukan “teori evolusi”-nya (terlepas dari kontroversi yang muncul setelahnya).

 

  1. Menumbuhkan lingkungan dan kultur yang memunculkan ide. Adanya diskusi tanpa sekat di antara peneliti senior dan junior, kultur diskusi yang informal, serta melakukan hal-hal di luar rutinitas dan target-target bulanan akan memunculkan ide-ide segar. Hal ini persis seperti yang diterapkan oleh Google dalam manajemen perusahaannya.

Dalam dunia penelitian, apalagi ditunjang oleh teknologi internet saat ini, ada satu kata yang rata-rata sangat dipegang erat oleh para peneliti yang jujur: REPUTASI. Saya pernah mendapatkan sebuah cerita dari seorang rekan bahwa pembimbing utamanya (profesornya) tidak menyetujui paper rekan saya untuk diterbitkan dalam jurnal tertentu (dengan impact factor tinggi) hanya karena jurnal tersebut TIDAK BERHUBUNGAN ERAT dengan bidang ilmu yang ia tekuni. Di sini saya tidak sedang membicarakan bahwa profesornya “egois” dengan bidang keilmuannya. Saya sedang mengatakan bahwa profesor ini sedang menjaga reputasi agar namanya tetap “bersih” dan ia tetap dikenal “konsisten” di bidang ya ia tekuni.

Bayangkan jika ia adalah orang yang menerima semua tawaran—mempublikasikan apapun hasil penelitian dengan nama dia tercantum sebagai co-author, meskipun hasil penelitian itu tidak ada hubungannya dengan keahlian yang ia tekuni. Orang akan cenderung memandang bahwa ia adalah peneliti yang oportunis dan justru tidak memiliki keahlian sama sekali, sebab namanya muncul dalam setiap publikasi dengan topik-topik yang sangat berlainan.

Saya kira, kita paham bahwa reputasi  menjadi mata uang penting dalam hubungan sesama manusia. Misalnya, jika Anda ingin memberi pinjaman uang kepada seseorang, tentu Anda akan melihat reputasinya dalam mengelola uang. “Apakah orang ini bisa dipercaya? Apakah ia terbiasa untuk menunda membayar hutang-hutangnya yang lampau?” Pertanyaan-pertanyaan semacam itu akan muncul dalam diri Anda.

Begitu juga ketika Anda ingin menjadi seorang peneliti atau berkarir di dunia akademis. Reputasi ini menjadi mata uang pertama sebelum Anda menjalin kolaborasi internasional. Partner yang akan Anda ajak kolaborasi tentu akan melihat rekam jejak Anda, kontribusi keilmuan Anda, dan siapa saja yang pernah bekerja sama dalam proyek penelitian Anda. Rekam jejak ini sangat mudah dilihat dan dicari, apalagi dengan teknologi semacam Google Scholar, Scopus, dan database-database publikasi lainnya.

Kesimpulannya? Reputasi lebih penting dari sitasi. Jika Anda masih sayang dengan nama baik Indonesia, jangan korbankan reputasi Anda untuk “short term achievement” yang tidak menambah apapun dari kemanfaatan hasil penelitian yang Anda lakukan.

 

Sunu Wibirama 

14 recommended
0 notes
1004 views
bookmark icon

Write a comment...

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *