Sore tadi—secara tidak sengaja—saya membaca status di sebuah akun Facebook tentang tujuan utama seorang dosen atau peneliti menulis dan mempublikasikan karya tulisnya. Akun tersebut menuliskan bahwa tujuan utama menulis artikel ilmiah adalah untuk mencapai cita-cita tertinggi dari karir seorang dosen: menjadi seorang guru besar atau profesor.
Sekilas status tadi tidak mengandung kesalahan sedikit pun. Saya pun mengamini bahwa banyak dari kita memublikasikan karya-karya penelitian kita dengan tujuan untuk memenuhi persyaratan utama menjadi seorang profesor. Dengan kata lain, kita menulis untuk memenuhi angka kredit (kum) penelitian.
Saya akui, dulu di awal karir saya sebagai dosen, saya memiliki pemikiran yang sama. Apapun bentuk publikasinya, tak lain dan tak bukan saya lakukan supaya saya bisa memenuhi persyaratan administratif sebagai seorang guru besar. Seiring perjalanan waktu, saya menemukan sesuatu yang jauh lebih besar daripada itu semua.
Pertanyaan yang mengubah pola pikir saya ada dua:
“Jika pada suatu titik engkau memiliki ratusan karya tulis ilmiah berkualitas dan di sisi lain engkau tidak bisa menjadi seorang guru besar karena—katakanlah faktor politik kantor (like and dislike), faktor ketiadaan hibah, faktor aturan angka kredit yang selalu berubah tanpa ada waktu yang jelas setiap periode apa sebuah aturan itu direvisi, dan faktor-faktor lain—apakah engkau akan berhenti menulis?”
“Jika engkau tahu peluang menjadi guru besar itu kecil—saya yakin pemerintah Indonesia tidak akan kuat membayar tunjangan dosen se-Indonesia jika semuanya menjadi guru besar—lalu mengapa engkau masih menulis?”
Dua pertanyaan itu menggelayuti pikiran saya, tepat dua tahun sejak kepulangan saya dari studi doktoral di Jepang.
Titik kritis seorang mantan mahasiswa yang telah menuntaskan studi doktoralnya adalah dua tahun sejak kepulangannya. Dalam dua tahun ini ia akan menemukan kegalauan yang besar, apakah ia akan terus melakukan penelitian yang sudah ia geluti dengan mengorbankan harta, waktu, dan tenaga selama studi doktoralnya? Ataukah ia akan menemukan “kehidupan baru” dengan passion-passion-nya di bidang lain? Saya melihat, banyak orang-orang yang pada akhirnya memilih untuk menemukan “kehidupan baru” di luar aktivitas penelitian yang dulu sempat ia geluti adalah orang-orang yang menyandarkan motivasinya untuk meneliti hanya sebagai sarana untuk memenuhi angka kredit supaya ia menjadi guru besar. Jika ternyata jalan menuju guru besar itu terputus, sirnalah semangatnya untuk melakukan penelitian.
Bagaimana dengan saya? Saya mencoba belajar dari anak pertama saya. Anak pertama saya sangat suka bermain dan mengutak-atik sesuatu. Apapun itu. Mulai dari Lego, origami dan menggambar, ia lakukan dengan sepenuh hati dan sepenuh waktu. Terkadang ia sampai lupa makan dan minum, dan kadang itu menjengkelkan kami sebagai orang tua.
Ketika suatu saat saya bertanya, “Mengapa Mas senang sekali bermain Lego, sampai lupa waktu?” Ia menjawab, “Lego ini asyik Yah, kita bisa membuat apapun yang kita mau dan kita inginkan. Kadang aku membayangkan sesuatu dan ternyata aku bisa membuatnya dengan Lego ini!” Padahal jika kita mau jujur, permainan Lego ini bukanlah permainan yang gampang. Untuk memisahkan komponen-komponen kecilnya saja kadang kita harus menggunakan “alat khusus”. Apakah anak saya akan menjadi seorang guru besar jika ia bisa membangun bentuk Lego tertentu? Tidak! Apakah ia akan mendapatkan uang jajan tambahan dari saya jika ia berhasil memecahkan teka-teki untuk membentuk struktur bangunan baru yang tidak ada di buku petunjuk? Tidak juga. Lalu apa alasannya? Anak saya bermain tanpa beban. Ya, tanpa beban. Ia hanya sekedar membuktikan apakah ia dapat mewujudkan imajinasinya.
Saya lalu kembali merenung. Sebenarnya, untuk apa sih repot-repot saya melakukan penelitian? Toh kembali lagi ke premis awal di atas, tidak semua dosen harus menjadi profesor ‘kan? Kalau hanya sekedar melaksanakan tugas karena saya dibayar universitas untuk melakukannya, penelitian akan menjadi sebuah pekerjaan yang membosankan.
Hasilnya pun akan membosankan pula. Tidak akan ada yang membaca tulisan kita. Kita hanya akan memenuhi database Scopus dengan paper-paper “sampah” yang tidak membawa dampak apapun, selain hanya untuk kemajuan karir kita sendiri. Menulis dengan bangga, mensitasi diri sendiri secara agresif, lalu diumumkan di halaman media sosial: ini lho, saya! Lihat h-indeks saya!
Lalu, apa manfaatnya kita hidup kalau kita tidak bisa memberi manfaat untuk orang lain? Hewan ternak yang tak berakal pun dagingnya bermanfaat untuk manusia? Apakah kita lebih buruk dari hewan ternak itu?
Saya sempat mengalami perenungan panjang tentang hal itu. Dua tahun setelah kepulangan saya, saya masih bisa memilih untuk meneruskan karir akademik saya atau “pamit” bekerja saja di industri. Toh setiap pilihan ada resikonya. Meskipun demikian, hal yang membedakan antara satu orang dengan yang lain adalah kesiapannya untuk menerima resiko atas pilihan yang diambil. Tapi begitu satu pilihan diambil, saya harus konsisten di atas pilihan tersebut, dengan cara yang menurut saya nyaman. Jika motivasi awal saya untuk meneliti dan menulis hanya untuk menjadi seorang guru besar, saya tidak akan bertahan lama di dunia akademis di Indonesia. Saya akan busuk sebelum waktunya. Begitu pikir saya saat itu. Untuk hal itulah, saya mengambil pelajaran dari anak saya.
Saya lalu mengubah motivasi saya bahwa penelitian yang saya lakukan adalah “playground” saya. Ya, arena bermain dan arena untuk mewujudkan imajinasi, serta arena untuk bisa berkontribusi bagi kemaslahatan dan kebaikan banyak pihak. Setiap manusia—berapapun umurnya—membutuhkan permainan. Hal utama yang membedakan antara anak saya dan saya adalah jenis permainannya. Jika anak saya bermain Lego, maka saya akan bermain hal-hal lain yang harganya “sedikit lebih mahal” dibandingkan permainan anak saya.
Tentu bermain pun ada rasa bosannya. Tapi saya tidak akan berhenti bermain hanya karena saya tidak mendapatkan hibah penelitian, misalnya. Saya pun tidak akan berhenti bermain jika suatu saat jalan saya menjadi seorang guru besar terhambat, dengan alasan apapun. Saya bermain karena saya bahagia dengan permainan itu, serta saya merasa bahwa saya bermanfaat untuk orang lain. Nilai-nilai inilah yang saat ini menjadi pegangan saya.
Hari ini saya mendapatkan notifikasi dari Google Scholar. Salah satu paper saya yang terpublikasi tahun 2017 di jurnal Entertainment Computing (Elsevier) dirujuk oleh salah seorang tokoh peneliti di bidang saya dari Universitas Tubingen, Jerman—Dr. Wolfgang Fuhl. Bagaimana rasanya? Tentu saya senang, sebab artikel saya bermanfaat untuk orang lain dan menjadi inspirasi bagi peneliti lain di bidang keilmuan yang saya tekuni. Sekedar catatan, sitasi oleh peneliti lain seperti ini bukan hal pertama. Pengalaman kali ini hanyalah satu percikan kecil di antara percikan-percikan kecil lain yang muncul dari beberapa karya tulis yang sempat kami publikasikan.
Meski demikian, hal-hal kecil seperti inilah yang menurut saya sangat berharga untuk memotivasi diri kita sendiri. Saat kita sadar bahwa apa yang kita lakukan bermanfaat untuk masyarakat atau untuk orang lain—bahkan dengan tingkat keilmuan yang lebih tinggi dari kita—ada kepuasan batin yang sulit terlukiskan dengan kata-kata.
Perasaan ini mirip seperti saat kita mendapat kabar bahwa anak didik kita berhasil dalam karirnya, atau saat kita melihat tetangga kanan kiri kita bahagia dengan pemberian kecil kita. Ada perasaan bahwa hidup kita bermanfaat karena kita bisa berkontribusi untuk sesama. Walaupun hal ini terdengar absurd dan terlalu ideal, saya tidak memaksa Anda untuk percaya begitu saja. Pengalaman batin perlu Anda rasakan sendiri untuk memahami bagaimana saya memandang aktivitas yang (saya kira) paling membosankan bagi seorang dosen, menjadi sebuah aktivitas yang (saya anggap) menyenangkan. Bagaimana dengan Anda?
Sunu Wibirama