Opini

Botol dan Secarik Kertas Tertanda Sang Ratu

• Bookmarks: 13277


 

Tengah hari yang begitu terik membuat kerongkongan mengering dan dahaga semakin bertambah. Sejenak istirahat, melepas penat setelah sejak pagi bekerja menguras tenaga. Namun ia tak menghiraukannya, ia segera bangkit dari bawah pohon rindang itu dan bergegas kembali sambil membawa sesuatu yang tak sengaja ia temukan ketika bekerja membongkar sebuah bangunan.

Setibanya di rumah, ia lantas membersihkan diri, dan mengisi perutnya yang telah terasa lapar sejak satu jam yang lalu. Setelah perut terisi, ia duduk sambil menikmati sebatang rokok yang mulai dihisapnya dalam-dalam, sedalam tatapan kosongnya sambil memikirkan benda yang telah ditemukannya sewaktu bekerja. Segera ia beranjak dan mengambil benda yang telah ia temukan tadi, diamatinya dengan cermat, mengapa benda tersebut bisa ada ditempatnya menggempur sebuah bangunan dan tertanam di bagian bawah fondasinya.

Rasa keingintahuan mendesaknya untuk mencoba menanyakan perihal benda yang ia temukan kepada rekannya. Sambil tetap menghisap rokoknya, ia tunjukkan benda itu kepada rekannya, dengan berbahasa Jawa ‘ngoko ia berkata, “Aku tadi menemukan ini sewaktu bekerja menghancurkan bangunan itu”. Rekannya mencoba mencermati sebuah benda yang ditunjukkan. Sebuah botol, tertutup rapat, tapi nampaknya dapat dibuka dengan mudah. Meski sedikit kotor, terlihat benda lain yang berada di dalam botol itu, sebuah gulungan kertas. Kemudian ia bertanya kepada rekannya “Aku merasa aneh mengapa seolah benda ini seperti sengaja ditanam?” rekannya tak menjawab, masih diam dan hanya mencoba untuk membuka botol itu. Tutup dapat dibuka dan dikocoknya botol itu, agar gulungan kertas keluar. Setelah berhasil keluar, rekannya mencoba untuk membuka gulungan kertas yang tak  terlalu besar itu. Ia penasaran dan merapat, ingin turut melihat apa isi sebenarnya.

Keduanya mengernyitkan dahi, dan tak sengaja saling bertatap. Gulungan kertas berisi tulisan yang tak panjang. Tak mengerti apa yang dituliskan dalam gulungan kertas itu, tetapi familiar dengan bahasa yang digunakan. Semakin yakin ketika di bagian bawah kertas tertanda sebuah nama yang pernah didengar, nama yang sangat dikenal, karena nama itu adalah nama seorang Ratu Kerajaan Belanda, ya Wilhelmina.

Tanpa pikir panjang, rekannya segera menggulung lagi kertas itu, ditalinya dengan rapi dan memasukkannya kembali ke dalam botol dan menutupnya.

“Kamu harus segera kembalikan ini ditempat kamu menemukannya”! perintah rekannya.

Ia pun terbingung, dan balik bertanya. “Kenapa aku harus kembalikan ini ke tempatnya tadi, ini benda apa sebenarnya?” ia bertanya penuh kebingungan.

Rekannya menjawab “Aku tak tahu apa arti tulisan itu, tetapi aku pernah mendengar cerita mengenai bangunan yang sedang kamu gempur dan hancurkan itu, dan botol itu kamu temukan disitu” jawabnya. “Sebaiknya segera dikembalikan lagi, daripada kita kena kualat nanti, apa ada yang melihat kamu menemukan benda itu?” tanya rekannya.

Ia pun menjawab, “Ada yang melihat tadi, tapi sepertinya tidak ada yang menghiraukan, bahkan hampir dibuang, segera saja kusisihkan dan ingin ku bawa pulang” jawabnya.

“Sudah, besok kembalikan saja lagi, tanam lebih dalam agar tidak tergali lagi. Itu darah dan nyawa banyak orang, para leluhur kita, nanti kita kena kualat, besok kembalikan saja lagi dan tak usah bicarakan ini dengan siapa-siapa” perintah rekannya.

“Baiklah, besok aku berangkat kerja lebih awal, agar tak ada yang curiga aku menanamnya kembali” jawabnya.

====

Dalam beberapa hari kedepan Kota Metro akan memperingati hari jadinya yang ke-84. Seperti pada umumnya, cerita dari masa silam akan kembali disampaikan, lembaran kertas bernarasi sejarah akan kembali dibuka, untuk merasakan kembali semangat para pendiri wilayah dan mengingatkan kembali bagaimana para pendahulu memulai jalannya sejarah. Buku-buku tentang sejarah Kota Metro (yang masih sangat sedikit sekali judul dan jumlahnya) akan kembali dibuka, dan mesin pencari google akan diramaikan dengan kata kunci pencarian “sejarah kota metro”.

Pada tahun 2018, penulis pernah mencoba untuk turut meramaikan hari jadi Kota Metro melalui tulisan tentang Metro dengan judul “Kota Metro, 81 Tahun Lalu dan Sekarang”, berharap agar warga Kota Metro dan pembaca pada umumnya mendapatkan bahan bacaan baru seputar hari jadi Metro. Sebab, banyak memang tulisan tentang sejarah Metro tetapi tak banyak kebaruan, semuanya seperti bersumber dari satu versi yang nampaknya menjadi “official history”, sejarah resmi, seolah tak dapat didiskusikan lagi. Sejarah Kota Metro sebagai sebuah realitas sosial yang panjang di masa lalu seolah sudah final. Pada hal, demokratisme yang dianut oleh bangsa ini, juga dianut oleh sejarah. Memberikan banyak ruang untuk munculnya tafsir-tafsir baru terhadap sejarah, menceritakan bagian-bagian lain dalam sejarah, terutama episode-episode yang masih untold. Oleh karena itu, tulisan kali ini kembali penulis bagikan sebagai bentuk partisipasi penulis dalam rangka untuk meramaikan kembali diskusi-diskusi tentang sejarah Metro, agar ingatan tak mengendap, menjaga agar tidak terjadi amnesia sejarah.

Cerita singkat di atas adalah ilustrasi dari salah satu cerita seorang informan yang membagikan pengalamannya tentang keberadaan sebuah monumen atau tugu. Tugu Meterm. Tugu penanda penting bahwa Metro adalah tempat yang istimewa, yang konon melegitimasikan posisinya sebagai pusat dan titik tengah daerah kolonisasi bentukan Belanda. Biasanya ketika momen sejarah Kota Metro diungkap dan diceritakan kembali, pasti akan turut disinggung akan keberadaan monumen atau tugu ini. Seperti yang telah banyak didengar dan beredar luas bahwa dikisahkan Tugu Meterm terletak di titik pusat wilayah kolonisasi, dijelaskan bahwa “meterm” yang berarti pusat atau centrum merupakan titik nol kilometer dari Metro. Dideskripsikan pula bahwa tugu tersebut memiliki tinggi 3 m dan bermahkotakan bola perungu sebagai replika bola dunia dan pada bagian khatulistiwanya dibalut seloka yang bertuliskan “Metreum”. Diyakini bola perungu ini merupakan pemberian dari Sang Ratu Kerajaan Belanda, Wilhelmina.

Ilustrasi cerita di atas adalah versi lain yang penulis dengar dan dapatkan, kaitanya dengan monumen atau tugu tersebut, yang menurut penulis versi ini masih jarang penuturnya. Kebanyakan informan atau penutur lainnya hanya mendeskripsikan bentuk fisiknya. Meski banyak yang meyakini, akan tetapi jika dirunut lebih dalam, kita masih akan sangat kesulitan memperoleh informasi kejelasannya. Seperti dimana persis letaknya, ada yang mengatakan di jalan poros utama pusat kota, ada yang menyebutkan di tengah bekas alun-alun kota yang kini berubah namanya menjadi Taman Merdeka, ada lagi yang menyebut letaknya kira-kira di posisi antara Taman Merdeka dan Masjid Taqwa saat ini. Belum lagi jika digali lebih lanjut, kapan terakhir tugu itu ada, mengapa dihancurkan atau dimusnahkan, masih belum bisa didapat kejelasannya. Terlebih belum ditemukan dokumen pendukung atau foto yang membuktikan keberadaannya. Dan yang menarik, keberadaan tugu atau monumen ini seperti sudah menjadi keyakinan publik, atau bahkan sudah menjadi bagian dari memori kolektif warga Metro, di tengah ketidakjelasan informasi dan kesulitan untuk ditelusuri lebih lanjut lagi. Bahkan Tugu Meterm (replika) yang kini berdiri kokoh di tengah Taman Merdeka, dinilai terinspirasi oleh keberadaan Tugu Meterm dahulu yang diyakini pernah ada.

Sebenarnya secara pribadi penulis masih belum terlalu yakin akan keberadaan tugu atau monumen Meterm ini. Ketidakyakinan ini bukan berarti penulis membantahnya secara mentah-mentah. Akan tetapi lebih kepada sikap masih ingin menelusuri lebih dalam lagi kejelasannya. Tak lebih dari sekedar menjalankan tugas sebagai generasi penerus untuk menjaga nyala api sejarah agar tetap hidup. Ada ungkapan bahwa setiap generasi akan menulis ulang kembali sejarahnya. Jika generasi sebelumnya telah berhasil menjaga estafet informasi itu melalui penuturan lisan, maka generasi sekarang yang diyakini lebih berkemajuan, tentu punya cara lebih cerdas untuk menjaga memori kolektif dan nyala api sejarah itu tetap hidup kemudian tersampaikan ke generasi selanjutnya.

Beberapa hal yang menurut penulis masih menjadi ganjalan di sudut ruang pikiran, diantaranya: Pertama terminologi. Tugu Meterm atau Metreum banyak pihak yang menjelaskan artinya adalah pusat atau sentral. Akan tetapi jika kita mau mencoba pengecekan sederhana melalui google translate, kata tersebut bukanlah bermakna demikian. Kata itu berarti “meter” satuan pengukuran jarak dan panjang, itupun bukan kosakata dalam bahasa Belanda, melainkan terjemahan dari bahasa Spanyol dan Islandia. Jika ingin sedikit mentolerir, mungkin masih ada kaitannya “meter” dengan makna titik nol, atau titik awal pengukuran. Tetapi makna yang selama ini dilekatkan bahwa meterm atau metreum itu adalah pusat atau sentral tentu harus dikritisi kembali. Titik awal pengukuran tidaklah selalu identik dengan pusat atau sentral. Menariknya lagi kata meterm atau metreum ini menjadi salah satu hipotesis asal kata Metro, yang mengalami kesalahan pengucapan dan kemudian menjadi Metro. Pada hal telah ada dokumen sezaman yang jelas menuliskan dan menyebutkan bahwa asal kata Metro adalah mitro dalam bahasa Jawa, yang berarti kawan, atau teman.  Hal ini pernah menjadi bahan diskusi pribadi penulis dengan beberapa rekan sejawat pemerhati sejarah, bahkan dengan rekan yang telah sering berkutat dengan manuskrip-manuskrip serta arsip-arsip Belanda, dan ternyata hal ini juga menjadi pertanyaan bersama.

Kedua adalah dokumen. Pemerintah kolonial Belanda sangat dikenal dengan pendokumentasian dan kearsipannya yang sangat baik dan tertib. Sistem pencatatan Kontinental yang dianut menempatkan posisi dokumen sebagai hal penting yang perlu diarsipkan. Keluarnya Surat Perintah Sekretaris Pemerintah tanggal 14 Agustus 1891 nomor 1939 mewajibkan seluruh daerah untuk menyerahkan seluruh arsipnya ke Kantor Algemeene Secretarie di Batavia (Jakarta). Hal ini karena sistem pemerintahan yang bersifat sentralistik, maka segala hal arsip tersimpan di kantor tersebut. Seperti laporan berkala yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal, surat-surat pengaduan dari penduduk kepada penguasa tentang suatu masalah yang muncul di tengah masyarakatnya, Laporan Serah Terima Jabatan (Memori van Overgave) para birokrat, Ensiklopedi umum Hindia Belanda (Encyclopedia van Nederlandsch Indie), Kamus tentang sejarah dan Biografi (Woordenboek Aardrijkundige), surat-surat perjanjian politik (Corpus Diplomaticum), Regeering Almanak, kumpulan peraturan pemerintah serta lampiran lembaran negaranya (Staatblad/bijblaad), Surat Keputusan (Besluit), Handboek voor Cultuur en Handelsondernemingen in Nederlandsch-Indie, dan lain-lain.

Korespondensi yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda biasanya dibuat rangkap dua. Kopi dikirim ke Belanda, asli disimpan di Batavia/Jakarta. Pada umumnya arsip salinan yang dikirim ke Belanda, mengenai perkara/masalah yang bersifat umum saja, yaitu permohonan, pertimbangan, dan kebijakan Sri Ratu atau Menteri Negeri Jajahan atau Menteri Perang, sesuai dengan masalah yang dilaporkan. Oleh karena itu arsip-arsip yang memuat informasi lokal dan detail, seperti keadaan politik, sosial, ekonomi yang bersifat lokal paling banyak arsip aslinya di Batavia/Jakarta (ANRI, 2020).

Berkaitan dengan tugu atau monumen meterm, sejauh ini penulis masih belum menemukan arsip statis dalam bentuk dokumen tertulis maupun foto yang menyebutkan keberadaan tugu tersebut. Tugu Meterm sebagaimana dikisahkan, adalah bangunan yang tentu sangat penting dan terbilang sangat langka, prestisius, dan sangat monumental. Benar adanya bahwa pemerintah kolonial memang menganut politik monumental, gemar membangun penanda fisik berupa tugu-tugu peringatan dan monumen yang biasanya diperuntukkan atau diidentikkan tokoh tertentu yang umumnya pembesar. Hal ini untuk menunjukkan kebesaran dan kekuasaan sang penguasa. Bagian dari politik memori, agar ingatan tentang penguasa tertentu tetap dominan di wilayah tertentu meski telah berganti masa di kemudian hari. Hal yang sama tentu berlaku bagi tugu meterm jika memang benar adanya. Ada kehadiran Sang Ratu (secara simbolik) yang diwujudkan dalam bentuk bola perungu yang konon pemberian dari Sang Ratu, bahkan dalam salah satu versi ditambah adanya penemuan secarik kertas tertanda Sang Ratu Wilhelmina, dalam sebuah botol yang tertanam didasar monumen yang ditemukan saat pembongkaran.

Sayangnya sampai sejauh ini penulis belum menemukan dokumen yang menguatkan keberadaan tugu tersebut. Pengalaman sama juga dialami oleh beberapa pegiat naskah-arsip, dan pemerhati sejarah di Lampung berkenaan dengan masalah ini. Arsip-arsip yang berkaitan dengan kolonisasi di Lampung dan khususnya Metro banyak diantaranya terdapat dalam Centraal Commissie voor Emmigratie en Kolonisatie van Inheemsen, Departement van Burgerlijke Openbare Werken (BOW) atau Departemen Pekerjaan Umum, laporan Residen Distrik Lampung, dan masih banyak lagi. Pertanyaannya adalah mengapa begitu sulit dicari dan ditemukan informasi tentang tugu/monumen itu yang jelas menandakan kehadiran Sang Ratu (secara simbolik) di suatu tempat. Jelas tempat itu berarti bukan tempat biasa. Belum juga ditemukan surat kabar yang memberitakan tentang seremoni berkaitan dengan hal tersebut.

Apakah pemerintah kolonial melalui berbagai perangkatnya di tingkat daerah luput dan tak mencatatnya?. Jika benar, hal ini menjadi semakin menjadi aneh ketika penulis melakukan penelusuran di Arsip Nasional Republik Indonesia, dengan mudah penulis menemukan arsip sebuah surat jalan seorang kolonis bernama Riman yang tinggal di bedeng 14 Metro yang memohon izin untuk menjemput anggota keluarganya di Trenggalek, dan Riman memperoleh izin dari Asisten Wedana Metro selama satu bulan sejak tanggal 12 Mei 1941-12 Juni 1941. Surat itu selalu dibawanya dan ditunjukkan kepada setiap petugas selama diperjalanan yang menanyakan mengapa seorang kolonis bepergian keluar dari daerah penempatannya. Arsip yang sama sekali tidak berkaitan dengan tokoh-tokoh besar, hanya arsip kecil dari seorang kolonis tetapi mudah ditemukan.

Keberadaan tugu/monumen yang menandakan kehadiran tokoh besar, tentu akan dilekatkan juga rasa bangga akan hal tertentu pada tugu/monumen yang dibangun, serta bukan sesuatu hal buruk yang mesti disembunyikan. Sehingga mempertanyakan mengapa keberadaannya tak tercatat atau catatan tentangnya sulit ditemukan tentu merupakan hal yang wajar.  Berdasarkan penelusuran penulis yang masih terbatas dan belum selesai ini, catatan yang pernah dijumpai mengenai keberadaan sebuah tugu atau monumen di Metro, adalah catatan tentang peresmian sebuah tugu/monumen peringatan keberhasilan pelaksanaan Kolonisasi Sukadana yang juga sekaligus tugu untuk memperingati perpisahan Residen Henri Roelof Rookmaaker yang telah berakhir masa tugasnya di Distrik Lampung. Tugu tersebut dibangun di pusat Metro, setinggi 4 meter, dibangun oleh para kolonis dengan pengawasan para lurah, dan diresmikan pada Rabu, 9 Juni 1937, tanggal yang kini dipilih menjadi penanda hari jadi Metro. Deskripsi jalannya seremoni peresmian tugu itu digambarkan jelas dan masih dapat dibaca pada surat kabar Bataviaach Nieuwsblad yang terbit dua hari kemudian Sabtu 12 Juni 1937. Pengalaman yang sama juga ternyata dialami oleh beberapa penelusur arsip dan sejarah lainnya.

Ketiga, penutur. Sejak awal informasi mengenai keberadaan tugu meterm mayoritas informasi didapat berasal dari informasi lisan. Kalaupun ada catatan tentang itu, adalah berasal dari sumber lisan yang dituliskan. Saat ini dapat dikatakan sangat sulit mengkonfirmasi informasi itu kepada generasi pertama baik itu pelaku sejarah maupun saksi sejarah. Jarak waktu yang telah cukup jauh, dan banyaknya pelaku sejarah serta saksi sejarah yang telah wafat menjadi kesulitan yang tak terjawab. Sedangkan proses validasi data/informasi melalui teknik triangulasi sumber kepada generasi kedua dan ketiga lebih sulit lagi, terlebih informasi yang terwariskan adalah informasi turunan, yang bisa saja menjadi berkembang seiring proses berjalannya waktu, dan subjektivitas bisa bertambah setiap saat. Karena setiap individu akan membangun pemahaman dan interpretasinya sendiri sekalipun itu dari sumber yang sama. Itu adalah proses alamiah akal manusia dalam membangun makna dari setiap informasi yang diterima dan diolah oleh inderanya. Maka menggali data secara lebih detail menjadi lebih sulit. Kalaupun diperoleh informasi yang tervalidasi, dapat dipastikan hanya bersifat umum saja.

Masyarakat sebagai pemiliki sah dari sejarah, dan pemilik sah ingatan-ingatan kolektif mereka, memang dibebaskan untuk memilih mana bagian memori kolektif yang perlu diingat dan dilestarikan bersama. Dan mana memori kolektif yang sepakat untuk ditutup dan dilupakan. Terlepas dari bagaimana kebenaran sejati mengenai tugu meterm itu, hari ini mayoritas masyarakat Metro masih memilih untuk menjaga dan melestarikan ingatan tentang tugu itu. Mengidentikkan keberadaan tugu meterm sebagai bagian dari ingatan bersama leluhur mereka dan bagian dari sejarah final tentang kotanya.

Penulis pun masih sangat berharap bahwa proses penelusuran ini masih belum selesai. Penulis masih berasumsi dokumen dan arsip pendukung memang “belum” ditemukan, bukannya “tidak ada”. Sehingga ketika suatu saat nanti dokumen dan catatan tentang tugu/monumen yang prestisius itu ditemukan, akan semakin melegitimasi bahwa Metro di masa lalu memang sangat istimewa. Dan keraguan itu dapat lekas terkonfirmasi serta pertanyaan-pertanyaan dapat segera terjawab. Tak banyak, bahkan hanya hitungan jari lokasi-lokasi yang prestisius dan ditandai kehadiran Sang Ratu penguasa Kerajaan Belanda Raya. Sebut saja misal Taman Wilhelmina dipusat ibukota Hindia Belanda, Jakarta. Penanda bahwa Ratu bertahta di wilayah timur jauhnya, yang pernah tercatat sebagai taman modern terbesar di Asia Tenggara, meski kini tak lagi ada dan hanya dapat dijumpai dalam catatan-catatan arsipnya saja.

Oleh karena itu penulis tak sepenuhnya membantah keberadaan tugu/monumen meterm ini. Apalagi secara metodologis ilmu sejarah sendiri mengakui keberadaan informasi lisan dan tradisi lisan untuk dipertimbangkan sebagai sumber data, meski harus melalui proses verifikasi yang sangat ketat. Keraguan dalam diri penulis adalah dalam rangka mendorong usaha untuk terus mencari kejelasan realitas sosial yang pernah terjadi di masa lalu berkaitan dengan keberadaan tugu meterm itu. Jika suatu saat nanti memang ditemukan bukti keberadaan tugu meterm beserta simbol berharganya (bola perungu pemberian Sang Ratu dan atau secarik kertas dalam botol tertanda Sang Ratu), tentu ini akan menjadi temuan baru yang semakin melegitimasi informasi lisan yang telah diyakini warga Metro sejak dahulu hingga sekarang. Menguatkan dan menambah nilai sejarah Metro sebagai tempat yang sangat istimewa, bahkan lebih istimewa dari ibukota Distrik Lampung di Teluk Betung. Sejarah Metro akan kembali ditulis ulang dengan semangat dan kebanggan yang berbeda. Semakin menegaskan bahwa kota ini memang dirancang, dilahirkan untuk menjadi metropolis di masa depan.

Kian Amboro.

 

13 recommended
0 notes
277 views
bookmark icon

Write a comment...

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *