Opini

Kausalitas dan Sains yang Taklid

• Bookmarks: 2071


 

Prinsip yang paling jelas tapi dipahami sepintas dan terbatas adalah kausalitas. Ia tidak bisa ditemui melalui teleskop yang mampu melihat bintang-bintang di angkasa luas atau mikroskop untuk menemukan bentuk-bentuk mikro organisme di kedalaman benda-benda.

Kausalitas berbunyi, “setiap akibat membutuhkan sebab.” hal ini sudah menjadi truisme yang tak perlu diulang-ulang, tapi mengetahui bagaimana bisa sesuatu membutuhkan sebab jarang diulas lebih jauh.

Pembedaan yang ‘kontingen’ (kebergantungan pada sebab) dan yang ‘mesti’ (tak butuh sebab) sangat jarang dibahas. Bahkan, sudah menjadi common sense di sebagian kalangan ilmuwan bahwa semua keberadaan itu kontingen dan terjadi secara tiba-tiba, ditambah lagi justifikasi dengan teori bigbang di awal sejarah semesta. Terlepas dari itu semua, kita mengetahui jelas bahwa kausalitas hanyalah konsep abstrak.

Kausalitas hanya ada di dalam pikiran, tapi ia adalah konsep yang tak pernah luput digunakan. Kausalitas justru dibahas panjang lebar dengan pembagian yang bercabang-cabang. Lalu, Sains tinggal menggunakan konsep itu begitu saja, tanpa berusaha membuktikan ilmiah atau tidak.

Postulat, atau asumsi dasar yang diterima begitu saja (tanpa pengujian) dalam sains salah satunya: Kausalitas. Kalau menggunakan kacamata positivisme (yang berkembang luas di lingkaran wina), konsep kausalitas tak lain hanyalah non sense, tak ilmiah, sama dengan problem-problem metafisik lainnya: Tuhan, Malaikat, Substansi, bahkan konsep ‘Materi’ itu sendiri tidak akan ditemui di dalam laboratorium. Intinya, konsep itu  sudah di luar garis demarkasi sains.

Sebagian empirisis bingung memahami kausalitas. Apa ‘sebab’ itu sebenarnya? Bagaimana hubungannya dengan ‘akibat’? Tokoh penting kaum Empirisis menjawab: “Kausalitas hanya sekadar urutan waktu, sebab adalah entitas yang lebih dahulu ada diikuti oleh entitas lain yang disebut akibat.”

Tapi, akan tambah bingung lagi kalau ditanyakan, “Bagaimana dengan pergantian siang dan malam (yang berurutan waktu), Apakah siang menjadi sebab bagi malam ataukah sebaliknya? Lantas, bagaimana dengan tangan, pena, dan tulisan yang bergerak secara bersamaan? Yang mana dari ketiganya sebagai sebab dan akibat” Tentu, ini pembahasan di luar penelitian saintifik, tak perlu membahasnya jauh-jauh. Itu Non-sense (menurutnya).

Masih banyak pembahasan menarik yang tidak perlu menggunakan indra untuk mendalaminya atau dengan metode hypotetico-deductive-verifikasi, induksi, bahkan probabilitas. Semua itu, cara kerja sains dalam mendapatkan kesimpulan akhir, tapi sains lagi-lagi tak mampu mengukur kebenaran metodenya sendiri. Sains hanya bisa bertaklid (ikut buta) pada semua postulat dan cara kerjanya begitu saja.

Meski begitu, sains sudah berhasil membangun sebagian peradaban, mengembangkan teknologi mutakhir untuk memudahkan manusia. Sayangnya, bukan cuma kemudahan untuk membantu manusia mencapai kesenangan, tapi juga kemudahan membunuh manusia demi mencapai kepentingan—dengan perubahan iklim, senjata biokimia, atom, dst. Saya tidak mau terjebak dalam generalisasi, biarlah itu menjadi dua kenyataan parsial yang paradoks.

Kemarin atau nanti, problematika ini akan terus terjadi. Dogmatisme sains akan terus berapologia menggunakan temuan-temuan yang mungkin hasil kerja keras seorang ilmuwan religius. Disatu sisi, Dogmatisme agama merendahkan sains sambil menggunakan gawai, yang ternyata teknologi hasil sains.

 

Fadel Abas

20 recommended
0 notes
71 views
bookmark icon

Write a comment...

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *