Opini

Menakar Makna Ketuhanan dalam Falsafah Pancasila

• Bookmarks: 10122


Salah satu topik yang menjadi bahan perdebatan serius dalam proses perumusan Pancasila sebagai dasar negara adalah tentang sila Ketuhanan. Fokus perdebatannya terkait dengan substansi dari sila itu dan posisi sila itu dalam keseluruhan Pancasila. Ini bisa kita lihat dalam dinamika tiga formulasi Pancasila, mulai versi 1 Juni 1945, Piagam Jakarta dan Pembukaan UUD 1945.

Ketiga formulasi Pancasila itu memiliki penekanan yang berbeda tentang sila Ketuhanan. Dalam Pidato 1 Juni 1945, Sukarno menyebut Ketuhanan sebagai dasar negara kelima dengan penekanan pada Ketuhanan yang Berkebudayaan. Kemudian dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Ketuhanan menjadi sila pertama dan mendapatkan frasa tambahan tujuh kata: “dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam bagi Pemeluk-pemeluknya.” Terakhir, pada Pembukaan UUD 1945, sila Ketuhanan berubah redaksi menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pertanyaannya kemudian adalah mengapa terjadi perubahan pada sila Ketuhanan dalam Pancasila? Apa makna dari ketiga versi sila Ketuhanan tersebut? Apa dampaknya bagi pola relasi agama dan negara di Indonesia? Rumusan sila Ketuhanan mana yang lebih kompatibel dengan prinsip kesetaraan sebagaimana dirumuskan dalam prinsip negara hukum modern?

Ketuhanan yang Berkebudayaan

Pertanyaan pertama yang perlu dijawab adalah  mengapa perlu ada sila Ketuhanan dalam dasar negara? Apa relevansinya membawa-bawa dimensi yang transenden dalam upaya menata negara sebagai organisasi kekuasaan? Bukankah problem-problem sosial seperti mengelola negara sebaiknya diselesaikan dengan pendekatan rasional dan humanis tanpa melibatkan isu Ketuhanan sama sekali?

Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan pada 26 Mei 1958 di Istana Negara, Jakarta, Sukarno memberikan penjelasan mengapa ada sila Ketuhanan di dalam Pancasila sebagai dasar negara. Menurutnya, sila-sila Pancasila digali sepenuhnya dari kepribadian bangsa Indonesia sendiri. Karenanya, Pancasila sebetulnya mencerminkan kesadaran kolektif bangsa Indonesia. Dalam hal ini, kepercayaan kepada Tuhan adalah bagian dari kesadaran kolektif bangsa Indonesia itu.

Sukarno menjelaskan bahwa di sepanjang sejarahnya bangsa Indonesia pada umumnya memiliki kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Itu bukan saja terjadi pada saat kedatangan agama-agama dunia ke wilayah Nusantara, tapi jauh sebelum itu. Artinya, jauh sebelum kedatangan agama Hindu, Budha, Islam, Kristen, dan agama dunia lainnya, masyarakat Nusantara telah mempercayai adanya dimensi transenden di balik apa yang tampak ini.

Memang, Sukarno menyatakan bahwa adanya kepercayaan kepada Tuhan adalah apa yang diyakini oleh rakyat Indonesia pada umumnya. Ia tidak mengingkari bahwa ada juga di antara orang-orang Indonesia yang telah tidak percaya kepada Tuhan. Dengan melihat fakta bahwa jumlah orang yang percaya kepada Tuhan jauh lebih banyak daripada orang yang tidak percaya, bagi Sukarno, adalah cukup masuk akal untuk memasukkan Ketuhanan sebagai salah satu sila dari Pancasila. Sebab, jika sila Ketuhanan dihilangkan, bangsa Indonesia akan kehilangan satu unsur paling penting yang menjadi sarana pemersatu semuanya.

Namun demikian, Sukarno juga mengerti bahwa agama atau keyakinan yang dipeluk oleh orang Indonesia tidak tunggal.  Oleh karena itu, Sukarno mendorong pola dan sikap berketuhanan yang beradab dan salin menghormati satu sama lain. Sukarno menyatakan: “Prinsip Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa…. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang  leluasa. Segenap rakyat hendaknya Bertuhan secara berkebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme agama’….”

Dalam latar belakang pemikiran seperti itu, sila Ketuhanan diterima dan disepakati secara bulat oleh tokoh-tokoh pendiri bangsa, khususnya mereka yang terlibat dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUK), atau secara lebih tepatnya BPUPK Jawa-Madura. Tidak ada keberatan atau penolakan terhadap sila Ketuhanan ini, baik dari kelompak yang disebut nasionalis maupun Islamis. Semua mencapai mufakat yang bulat.

Dalam kerangka ini, sila Ketuhanan dalam Pancasila adalah pengakuan yang tegas bahwa setiap agama, kepercayaan dan spiritualitas memiliki ruang yang terbuka untuk berkembang di Indonesia. Sila Ketuhanan tampak memberikan jaminan bahwa negara Indonesia merdeka akan senantiasa ramah pada agama, kepercayaan dan spiritualitas yang dipeluk oleh warganya. Dengan kata lain, negara Indonesia merdeka tidak akan mengambil sikap yang memusuhi agama-agama dan spiritualitas.

Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam bagi Pemeluk-pemeluknya

Setelah Pidato Sukarno 1 Juni 1945 diberikan tepuk tangan meriah dan diterima oleh semua anggota BPUPK, Sukarno kemudian berinisiatif membentuk tim kecil di luar forum sidang resmi BPUPK. Tim kecil ini awalnya berjumlah delapan orang, lalu berubah menjadi sembilan orang atas usulan Sukarno. Selain Sukarno sebagai ketua sekaligus penengah, ada Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Alexander Andries Maramis dan Achmad Subardjo dari golongan nasionalis; serta ada Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim dan Abdul Wahid Hasyim dari golongan Islamis.

Pertemuan Tim Sembilan ini dilaksanakan di Jakarta pada 22 Juni 1945 dengan tujuan untuk merumuskan rancangan Pembukaan UUD. Pada pertemuan kali ini, kelompok Islamis menyampaikan keinginan mereka untuk lebih menonjolkan aspek keislaman dalam Pembukaan UUD. Selain ada poin-poin lain yang diperdebatkan oleh golongan nasionalis dan golongan Islamis, poin utama perdebatan mau tidak mau kembali mengarah kepada persoalan dasar negara.

Terdapat usulan perubahan urutan dan bunyi kalimat dari sila-sila dalam Pancasila. Kaum Islamis menghendaki agar Ketuhanan diletakkan sebagai sila pertama, bukan sila kelima sebagaimana termaktub dalam Pidato Sukarno 1 Juni. Kemudian, kalimatnya mendapatkan beberapa perubahan. Karenanya, formulasi Pancasila yang diusulkan adalah sebagai berikut: (1) Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam bagi Pemeluk-pemeluknya; (2) Kemanusiaan yang Adil dan Beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan; dan (5) Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Upaya kalangan Islamis untuk menambahkan “7 kata” dalam sila Ketuhanan tampaknya menjadi jalan alternatif untuk memasukkan nomenklatur Islam ke dalam Pancasila sebagai dasar negara, setelah usulan menjadikan Islam sebagai dasar negara tidak disetujui oleh mayoritas anggota BPUPK Jawa-Madura dalam sidang pertamanya pada 31 Agustus-1 Juni 1945. Dengan demikian, golongan Islamis menerima Pancasila sebagai dasar negara, tapi itu adalah Pancasila bersyariah. Di sini, mereka ingin agar Islam mendapatkan pengakuan dan perlakuan yang istimewa.

Jika dicermati, keinginan kelompok Islamis di Tim Sembilan untuk memberikan pengakuan dan perlakuan istimewa kepada umat Islam dengan menambahkan “7 kata” pada sila Ketuhanan itu merupakan suatu bentuk perwujudan dari kurangnya pemahaman mereka tentang prinsip kesetaraan dalam kerangka negara-hukum modern. Dalam prinsip kesetaraan, dikatakan bahwa setiap warga negara dipandang sama di hadapan negara tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, warna kulit, etnisitas, agama dan identitas lainnya.

Hal ini bisa terjadi karena tokoh-tokoh Islamis itu tampaknya lebih akrab dengan wacana politik abad pertengahan ketimbang teori politik modern. Pada era abad tengah, berbagai kerajaan atau imperium biasanya memang tidak begitu memisahkan antara otoritas agama dan otoritas negara. Di dalamnya, otoritas agama memberikan legitimasi bagi para penguasa, sementara sebagai balasannya, otoritas negara diminta untuk mendukung pelaksanaan ajaran agama dengan kekuasaan yang dimilikinya. Selain itu, negara sebagai organisasi kekuasaan juga diminta untuk memberikan keistimewaan kepada penganut agama mayoritas dan menempatkan pemeluk agama minoritas sebagai warga negara kelas dua.

Di samping kurang memahami teori politik modern, keinginan untuk mendapatkan pengistimewaan melalui pencantuman “7 kata” pada sila Ketuhanan menunjukan kebutuhan untuk diakui sebagai entitas politik khusus dalam tatanan negara Indonesia modern. Sebab, tokoh-tokoh Islamis itu merasa bahwa umat Islam telah mengalami peminggiran secara terstruktur, sistematis dan masif selama zaman penjajahan. Karenanya, ketika merdeka, mereka ingin agar keadaan menjadi berbalik.

Ketuhanan Yang Maha Esa

Walaupun sempat disepakati dalam pertemuan Tim Sembilan pada 22 Juni, rumusan Pancasila dalam rancangan Pembukaan UUD itu akhirnya berubah kembali dalam Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945. Kata-kata “dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam bagi Pemeluk-pemeluknya” dihapus dan diganti dengan kata-kata “Yang Maha Esa”. Karenanya, susunan Pancasila tetap sama dengan versi 22 Juni, tapi dengan sila pertama yang berbeda, yakni: Ketuhanan Yang Maha Esa.

Mengapa sila Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam bagi Pemeluk-pemeluknya ditolak oleh PPKI? Mengapa PPKI lebih memilih sila Ketuhanan Yang Maha Esa? Apa perbedaan hakiki kedua versi sila pertama dari Pancasila tersebut? Pertanyaan-pertanyan ini penting untuk dijawab agar kita bisa dengan jelas mendudukkan persoalan Ketuhanan, agama dan negara dalam falsafah Pancasila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia.

Pertama, soal penghapusan “dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam bagi Pemeluk-pemeluknya.” Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bunyi sila pertama seperti ini tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan dalam konsep negara-hukum demokratis modern. Anggota-anggota PPKI melihat persoalan mendasar ini. Bagi mereka, dengan melihat kenyataan bahwa rakyat Indonesia sangat beragam latar belakang agama dan keyakinannya, menempatkan doktrin khusus sebuah agama dalam dasar negara tentu akan mengistimewakan para pemeluk agama tersebut sekaligus membuat para pemeluk agama lain menjadi warga negara kelas dua.

Jika rumusan sila pertama seperti itu dipaksakan untuk dipertahankan, persatuan Indonesia yang sudah lama dibangun dan dikembangkan akan rusak. Sebab, persatuan sejati hanya mungkin terwujud jika terdapat kesetaraan di antara semua pihak yang terlibat.  Sikap ingin menang sendiri dalam kerangka persatuan di antara pihak-pihak yang beragam hanya akan menimbulkan ketidaksukaan dan perselisihan. Dalam konteks persatuan, apa yang sejatinya dituju adalah kemenangan bersama sebagai bangsa, bukan kemenangan satu pihak dan kekalahan untuk pihak lainnya.

Lantas, mengapa Ketuhanan Yang Maha Esa bisa diterima dan disetujui? Jawaban atas pertanyaan ini mudah: “Ketuhanan Yang Maha Esa” bersifat inklusif, sementara “Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam bagi Pemeluk-pemeluknya” bersifat eksklusif. Kata “Esa” dalam Ketuhanan Yang Maha Esa memiliki makna yang sangat terbuka dan bisa menerima keragaman penghayatan Ketuhanan, kepercayaan dan spiritualitas.

Banyak pihak yang secara keliru memahami kata esa sebagai satu. Padahal, esa tidak sama dengan tunggal atau eka yang memang berarti angka satu. Dalam kalimat “Bhinneka Tunggal Ika”, kata tunggal itu memang berarti satu, sehingga arti kalimat itu menjadi “Berbeda-beda tapi Satu Juga.” Sementara itu, dalam kalimat “Eka hilang, dua terbilang” kata “eka” memang berarti “satu” sehingga kalimat itu berarti “Satu hilang, muncul dua.” Adapun kata esa adalah serapan yang berasal dari bahasa Sansekerta dan Pali. Esa berarti “yang mutlak” atau “yang absolut”.

Jadi, sila Ketuhanan Yang Maha Esa sejatinya dipahami sebagai Ketuhanan Yang Maha Mutlak atau Maha Absolut. Dalam kemutlakan itu, Tuhan adalah transendensi yang tidak akan pernah bisa sepenuhnya ditangkap oleh panca indera atau dipikirkan oleh akal budi. Segala penghayatan manusiawi terhadap Yang Mutlak akan senantiasa menjadi upaya “yang terbatas” untuk menangkap “yang tak terbatas.” Dalam terang pemahaman seperti ini, sila Ketuhanan Yang Maha Esa betul-betul sangat terbuka terhadap segala macam penghayatan keagamaan, keyakinan dan spiritualitas.

Kesimpulan

Ketuhanan telah disepakati menjadi salah satu sila dari Pancasila. Dalam tiga formulasi Pancasila (1 Juni, 22 Juni dan 18 Agustus), Ketuhanan tetap eksis. Apa yang berbeda adalah posisinya dalam urutan sila-sila Pancasila dalam ketiga versi tersebut. Perbedaan lainnya adalah kata-kata tambahan yang dilekatkan kepada kata Ketuhanan tersebut. Perbedaan kata-kata tambahan tentu saja memberikan makna yang berbeda pula.Dilihat dari segi urutannya, posisi sila Ketuhanan mengalami perubahan.

Dalam Pancasila 1 Juni, Ketuhanan menjadi sila kelima. Kemudian, dalam Pancasila 22 Juni dan 18 Agustus, Ketuhanan menjadi sila pertama. Apa yang menarik adalah bahwa Sukarno tidak mempersoalkan perubahan ini. Sebagai pemberi Pidato 1 Juni, Ketua Tim Sembilan, dan Ketua PPKI, ia menerima dengan lapang dada perubahan-perubahan posisi tersebut.

Persoalan yang lebih mendasar justru ada pada penambahan kata-kata setelah kata Ketuhanan. Dalam Pancasila 1 Juni, sila Ketuhanan sebetulnya tidak diberikan kata-kata tambahan khusus. Sukarno memang memberikan ulasan terhadap makna sila Ketuhanan itu yang substansinya adalah bahwa negara Indonesia harus ramah kepada berbagai agama atau keyakinan yang dipeluk oleh warganya, serta setiap pemeluk agama hendaknya saling menghormati satu sama lain. Dalam hal ini, sila Ketuhanan memiliki sikap yang terbuka atau inklusif.

Dalam Pancasila 22 Juni, sila Ketuhanan diberikan tambahan “7 kata” sehingga menjadi Ketuhanan dengan Kewajiban Menjalankan Syari’at Islam bagi Pemeluk-pemeluknya. Penambahan “7 kata” ini bermakna bahwa umat Islam diberikan pengakuan dan perlakuan istimewa. Hal ini tentu saja bertentangan dengan prinsip kesetaraan dalam kerangka negara-hukum modern. Dalam prinsip kesetaraan, dikatakan bahwa setiap warga negara dipandang sama di hadapan negara tanpa membeda-bedakan jenis kelamin, warna kulit, etnisitas, agama dan identitas lainnya. Karenanya, sila Ketuhanan dalam versi ini bersifat eksklusif.

Dalam Pancasila 18 Agustus, sila Ketuhanan diberikan tambahan kata-kata “Yang Maha Esa”. Dengan penambahan ini, sila Ketuhanan Yang Maha Esa sejatinya dipahami sebagai Ketuhanan Yang Maha Mutlak atau Maha Absolut. Segala penghayatan manusiawi terhadap Yang Mutlak akan senantiasa menjadi upaya “yang terbatas” untuk menangkap “yang tak terbatas.” Dalam terang pemahaman seperti ini, sila Ketuhanan Yang Maha Esa betul-betul sangat terbuka terhadap segala macam penghayat keagamaan, keyakinan dan spiritualitas.

Dalam konteks ini, rumusan Ketuhanan pada Pancasila 1 Juni dan 18 Agustus yang bersifat inklusif lebih kompatibel dengan prinsip kesetaraan dalam kerangka negara-hukum modern. Sebab, rumusan sila Ketuhanan tersebut memberikan kesempatan yang sama kepada seluruh warga negara untuk menghayati konsep Ketuhanan yang diyakininya, apapun itu. Pada gilirannya, hal ini juga akan membawa pada penghargaan terhadap prinsip kesetaraan warga negara tanpa memandang latar belakang agama, keyakinan dan spiritualitasnya.

Iqbal Hasanuddin

10 recommended
0 notes
122 views
bookmark icon

Write a comment...

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *