Opini

Karya Sastra Sebagai Keutamaan

• Bookmarks: 12


Apa yang bisa dibeli dengan uang £0.01 alias 1 pence?Kalau dirupiahkan nilai uang ini setara dengan Rp. 140,- (dengan kurs 1 pounds senilai Rp.14000). Apa yang bisa dibeli dengan uang seharga demikian di Indonesia?

Tapi bagi penikmat sastra di UK, jawabannya adalah ‘Selected Stories’ karya Anton Chekhov, seorang sastrawan besar dari Rusia. Coba cek di Amazon.co.uk, buku setebal 208 halaman ini hanya dihargai 1 pence saja. Ditambah dengan ongkos kirim untuk pengiriman di dalam UK sebesar £2.95, jadi harga total mendapatkan buku ini kurang dari 3 pounds atau Rp. 42.000.

Bukan hanya karya Anton Chekhov yang bisa dibeli dengan harga yang hampir nihil, banyak lagi yang lain. Novel Anna Karenina karya Tolstoy sedikit lebih mahal: £1.99. Tetapi jika dibeli di online retailer lain, bisa didapat dengan harga £0.98.

Banyaknya charity shop di Inggris dapat juga menjadi alternatif pencarian. Hanya saja, karena namanya juga toko buku bekas, kadang yang dicari ada, kadang tidak. Saya pernah membeli novel karangan Kazuo Ishiguro-pengarang Inggris keturunan Jepang- dengan harga £3 di toko British Heart Foundation. Dapat buku bagus sembari bersedekah, siapa yang tak suka?

Demikian murahnya menikmati sastra di UK. Sepertinya sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang ada di Indonesia. Seorang karib pernah menceritakan bahwa di Indonesia sangat sulit menemukan buku karya sastra dalam bahasa Inggris yang bermutu, bahkan di perpustakaan jurusan sastra Inggris di universitas yang terkenal sekalipun. Katanya lagi, yang ia temukan adalah novel-novel sekelas novel karya John Grisham yang belum didapuk sebagai sebuah karya sastra yang agung.

Kalau memang kenyataan di Indonesia demikian, bisa dibayangkan apa isi perpustakaan universitas di daerah-daerah. Karib saya ini sampai bilang, andai ia duta besar Indonesia di Inggris, ia akan beli buku-buku karya sastra untuk disumbangkan ke tanah air, karena sumbangan dari seorang duta besar tidak akan diperiksa macam-macam oleh pihak bea cukai. Mungkin dia ada benarnya. Bisa jadi ini merupakan alternatif yang strategis untuk pengembangan sastra di tanah air. Bukankah sekarang sastra makin menjauh saja dari kehidupan sehari-hari. Dikalahkan oleh panggilan dari Android, Facebook atau Twitter, YouTube dll.

Karya sastra, konon bisa membawa manusia ke arah perbaikan, memperhalus budi pekerti. Membacanya butuh kontemplasi, deep reading. Kadang dibutuhkan indera perasaan untuk menikmatinya secara totalitas. Sedangkan masa sekarang, kebiasaan yang tumbuh sumbur adalah budaya membaca cepat, scanning dan skimming.

Ini disebabkan oleh serbuan gadget yang sepertinya sudah menjadi kebutuhan wajib layaknya nasi dan lauk-pauk. Memang kemampuan pembaca terasah untuk menyaring informasi yang demikian berlimpah ruah, tetapi di satu sisi kebiasaan membaca cepat yang dilakukan berulang-ulang akan membuat manusia malas berpikir dan cenderung berpikir instan.

Seorang ahli neuro-psikologi mengatakan kebiasaan sms-an, twitter-an dan facebook-an akan mengubah jaringan-jaringan sel syaraf manusia, membentuk sebuah brain-circuitry yang baru. Kalau brain-circuitry ini menjadi permanen akan sangat sulit untuk mengubahnya kembali.

Manusia baru yang terbentuk adalah manusia dengan tingkat kontemplasi yang rendah, sulit berpikir keras, dan sulit menangkap sebuah substansi permasalahan. Sangat mengkhawatirkan kalau memang ini yang akan terjadi. Bahkan, ada efek negatif lain, yang timbul dalam jangka waktu panjang, yakni berkurangnya perbendaharaan kata-kata yang dimiliki seseorang.

Di tahun 1990-an, seorang pakar linguistik dari Amerika memperkirakan bahwa tiap tahun manusia kehilangan perbendaharaan kosa-kata sebesar satu persen per tahun akibat kurangnya aktifitas deep-reading.

Untuk menolak terbentuknya jaringan-jaringan baru di sel syaraf ini ada satu cara yang bisa dicoba, yakni dengan membaca karya sastra.

Kenapa begitu?

Karena membaca karya sastra yang bagus berarti memaksa otak untuk melupakan proses scanning dan skimming. Karya sastra kalau dibaca cepat-cepat, tidak ada lagi kenikmatan yang tinggal. Sebuah kenikmatan akan muncul dari proses yang tidak tergesa-gesa.

Usai saya mengucapkan kalimat terakhir ini ke teman saya, di wajahnya tersungging senyum simpul yang manis. Anehnya, matanya tidak tertuju ke saya, tapi asik membaca status temannya di media sosialnya.

Baru saya sadari, sejak saya awal bertutur matanya tidak lepas dari si gadget ini, sembari ketawa cekikikan.

Ahdar

0 notes
2 views
bookmark icon

Write a comment...

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *