Opini

Masih Soal THR Hakim : Masing-Masing Orang Punya Rezekinya

• Bookmarks: 187217


 

Saya membaca 2 (dua) lembar surat viral yang ditujukan ke Presiden dan ditembuskan ke Ketua Mahkamah Agung RI dengan wajah penulisnya yaitu Gede Andi Agus Narendra terpampang.  Membacanya saat rehat di WAG kantor PN Gunung Sugih tempat saya bekerja kemarin. Intinya Narendra menulis  dia senang  dapat THR tapi tidak senang melihat hakim dapet THR, kegedean katanya. Maka saran dia dipotong saja demi kemaslahatan bersama.

Ijinkan saya anak honor juga mau menulis. Jangan dikira anak honor gak bisa nulis. Ini saya lagi coba tapi saya banyak bertanya kepada bapak ibu hakim yang saya sayangi di kantor tempat saya bekerja sebelum saya bagikan tulisan ini. Saran mereka “tulis-tulis saja semaumu, kalau jelek kamu yang nanggung”, demikian saran yang sadis dan brutal. Tapi memang begitu cara komunikasi kami terbuka di sini. Jadi kalau tulisan ini saya post artinya bagus ya. Mohon like dan subscribe ya bapak ibu. (*Emoji senyum dan sembah).

Kalau dari cerita hakim-hakim yang saya sayangi itu sampaikan dan yang saya saksikan setiap hari memang tugas hakim itu berat, Mas. Keliatannya saja terlihat enak dan rileks. Wah Mas Narendra gak dekat sih sama hakim-hakim. Pasti pegawai baru ya. Saya ini honorer belasan tahun pangkatnya tetap saja honorer sampai sekarang tapi rasa hormat saya sama beliau-beliau itu begini, Mas. Gak keliatan ya emoji memenya? Tadi saya angkat tangan saya di kepala tanda hormat sambil memiringkan badan. Sebagai bentuk hormat besar saya pada mereka. Saya bersyukur kok jadi honorer dan gak pula mau  jadi hakim.  Berat mas jadi hakim itu.

Setiap pagi saya lihat wajah-wajah mereka dengan kantong mata yang masih membengkak usai begadangan menyiapkan putusan. Meminta saya buatkan kopi dan menemani mereka menghela udara  pagi di kantin. Banyak perkara tertentu yang membutuhkan fokus pikiran mereka. Saya mungkin salah hitung jumlahnya tapi setiap hari mereka bersidang rata-rata 20 perkara. Jika 20 perkara itu selesai di periksa biasanya dalam jangka waktu minggu dan bulan akan ada beberapa perkara yang diputus. Itu artinya mereka menyiapkan beberapa draft konsep putusan.Tapi perkara masuk akan selalu datang setiap hari tiada henti meski wabah covid 19 saat ini. Ketua PN kami sudah menghimbau Polrest dan Kejari untuk lebih selektif memberkas perkara tapi tetap saja perkara ada yg masuk. Ya sudah mau bilang apa, kata ketua saya yang keren itu (THR ya pak, *emoji ketawa canda) : memang asasnya hakim gak boleh nolak perkara apalagi mencegah terjadinya perkara kejahatan bagai superhero.

Nah sampe mana tadi saya nulis…

Oh ya jadi gini Mas Narendra, jadi hakim itu susah mas. Bukan begadangan  bikin putusannya saja tapi tanggungjawabnya. Pernah suatu ketika dalam persidangan perkara pidana pembunuhan bernuansa unsur SARA. Wah yang nonton sidang ramai dan sensitif. Orang Sumatera mas, ngomong biasa saja suaranya keras apalagi emosi. Polisi saja khawatir apalagi kami kroco-kroco ini. Apapun putusannya bisa dianggap salah. Diputus ringan salah diputus berat salah. Sudah itu di surat-surati pula keatasannya. Sudah capek menyidangkan, begadangan bikin putusan, lalu dihari putusan seperti menghadapi perang kemudian usai putusan disurati ke atasan. Meskipun atasan pengawas gak temukan kesalahan tapi hakim-hakim itu mencret mas. Ada hakim perempuannya juga di majelis hakim itu yang masih punya bayi. Bayangkan kalau 20 perkara ada 7  model seperti itu perkaranya. Ah mas Narendera tidak tahu sih, pasti baru ya jadi pegawai? Saya sebagai security yang juga ditugasi tambahan sebagai OB di kepaniteraan administrasi hukum juga ikut mengawal hakim-hakim ini. Kalau sampai ada pihak-pihak yang menyerang setelah putusan karena gak puas saya siap koprol lindungi majelis hakim. Lha saya kan sayang sama hakim-hakim ini. Karena mereka suka sisihkan gajinya setiap bulan buat kasih tambahan buat saya mas. Apalagi kalau jelang lebaran, uang THR mereka sisihkan sebagian buat kami para honorer yang gagah ini. Mas Narendera ini aneh lho, rezeki orang lain kok kamu usul-usulkan ke presiden untuk dipotong. Saya kok melihat mas Narendera ini menganut mashab semua harus sama ya. Klo diibaratkan (mungkin salah perumpamaannya, tapi biarlah mikir sendiri).

Ada ASN di kepolisian minta gajinya sama dengan Kapolrest dan Kasat-Kasat. Atau ASN itu minta dipotong saja THR Kapolrest dan Kasat-Kasat karena kegedean. Kena tembak mas, sakit loh mas. ASN di Universitas minta hak-haknya sama dengan dosen dan Guru Besar. Kira-kira gitu mas, perumpamaannya. Jadi hati-hati mas kalau minta presiden untuk motong rezeki THRnya hakim itu. Emang Presiden itu anak kecil apa. Itu Menteri Keuangan itu orang pintar mas. Tentu sudah dipikirkan matang soal itu. Kasian mas, dibalik THR para hakim itu ada rezeki THR saya juga loh. Kasian anak dan istri saya mas. Juga tentu kasian dong hakim-hakim yang saya sayangi itu kalau THRnya dipotong, mereka punya keluarga juga yang harus dihidupi. Berat kerja hakim-hakim itu mas.

Jadi kalau rezeki mereka lebih gede itu karena memang tanggungjawab mereka gede mas. Jadi mereka layak mendapatkannya. Masing-masing orang punya rezekinya, syukuri saja rezeki kita yang ada. Kalau maksud hati kita adalah akan bermanfaat jika THR dibagikan ke masyarakat yang lebih membutuhkan maka silahkan mas Narendra dengan rezekinya bersedekah kepada mereka yang kesusahan. Klo rezeki THRnya hakim itu biarlah mereka bersedekah sendiri gak usah dipotong-potong karena itu rezeki anak istrinya. Tentu mereka juga bersedekah pada kaum yang kesusahan. Buktinya THR hakim-hakim itu sebagian disisihkan kepada kami para honorer.

 

Buchoiri

18 recommended
0 notes
7217 views
bookmark icon

Write a comment...

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *