Wabah coronavirus (COVID-19) saat ini menjadi problem utama hampir di seluruh pelosok bumi. Data resmi dari World Health Organization (WHO), tercatat per tanggal 24 Maret 2020, dari 196 negara di dunia, sebanyak 372.757 kasus terkonfirmasi positif, dan dari jumlah tersebut sebanyak 16.231 diantaranya meninggal dunia.
wilayah tertinggi penyebarannya yakni di China, Italy, Spanyol, Iran, Jerman, Usa, Prancis, Korsel, Swiss Inggris. Di Indonesia sendiri, dari data resmi Kemenkes menyebutkan bahwa kondisi per tanggal 24 Maret 2020, Positif COVID-19 yakni sebanyak 686 orang, diantaranya Sembuh 30 orang, dan yang Meninggal (Positif COVID-19) sebanyak 55 orang.
Bagi Indonesia, peringatan Public Health Emergency Of International Concern (PHEIC) oleh WHO terkait penyebaran COVID-19 telah dilaksanakan oleh Pemerintah dengan berbabagi langkah yang telah dilakukan. Terutama langkah penanganan, termasuk pencegahan dan isolasi warga di rumah. Termasuk pula langkah pembatasan komoditas impor dari China berupa hewan hidup dan menutup penerbangan dari dan ke China. Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa langkah tersebut merupakan upaya untuk melindungi kepentingan nasional, yanki untuk mencegah masuknya virus COVID-19 ke Indonesia.
Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia Xiao Qian pada satu kesempatan menyampaikan bahwa penghentian impor sejumlah produk dari China oleh Indonesia berpotensi berdampak negatif terhadap hubungan perdagangan kedua negara dan juga akan memberikan dampak negatif kepada hubungan kedua negara. Xiao mengatakan, hingga kini belum ada bukti bahwa virus corona dapat ditularkan melalui barang-barang impor. Bahkan, WHO sebelumnya telah menyatakan ketidaksetujuannya atas tindakan pembatasan perdagangan ke China.
Polemik pembatasan impor dari Tiongkok pada akhirnya terjawab setelah secara resmi diumumkan oleh Pemerintah pada 7 Februari 2020 melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag). Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 10 Tahun 2020 tentang Larangan Impor Sementara Binatang Hidup dari China.
Kebijakan larangan atau pembatasan impor ini sangat menarik untuk dikaji lebih dalam, terutama mengenai sejauh mana sebenarnya kebijakan pembatasan impor terhadap Tiongkok yang dapat diambil oleh Pemerintah, dan apakah kebijakan tersebut merupakan pelanggaran terhadap prinsip hukum ekonomi dalam perdagangan internasional. Piagam Hak-hak dan Kewajiban Negara (Charter of Economic Rights and Duties of States - CERDS) juga mengakui bahwa setiap negara memiliki hak untuk melakukan perdagangan internasional.
Tulisan ini tidak hendak membahas tentang dampak ekonomi terhadap kebijakan tersebut, melainkan untuk membahas dari prespektif hukum ekonomi internasional, khususnya bidang perdagangan internasional. Menurut penulis, ada potensi ketersinggungan politik ekonomi karena kebijakan hukum yang diambil Pemerintah terkait kerjasama perdagangan antara Indonesia dan Tiongkok.
Pertanyaannya adalah apakah langkah yang diambil oleh Indonesia dengan melakukan restriksi impor terhadap tiongkok terkait wabah COVID-19 merupakan pelanggaran terhadap prinsip hukum ekonomi internasional, ataukah merupakan langkah yang wajar yang dimungkinkan dalam presepektif khususnya terkait prinsip-prinsip dalam perdagangan internasional.
Dalam kajian Hukum Ekonomi Internasional, memang dipahami bahwa terdapat Kaidah-Kaidah Dasar (Fundamental). Kaidah-kaidah dasar tersebut pada pokoknya mengacu kepada 2 prinsip kebebasan, yakni kebebasan komunikasi dan kebebasan berdagang. Prinsip kebebasan yang telah berkembang lama ini disebut juga sebagai prinsip klasik hukum ekonomi internasional.
Dalam konteks ini yang perlu diperhatikan yakni kaidah kebebasan berdagang, bahwa Setiap negara memiliki kebebasan untuk berdagang dengan setiap orang atau setiap negara dimanapun di dunia ini. Kebebasan ini tidak boleh terhalang oleh karena negara memilki sistem ekonomi, ideologi atau politik yang berbeda dengan negara lainnya.
Namun tentu saja kaidah kebebasan berdagang ini tidak begitu saja dapat dipahami sebagai kebebasan yang tanpa batas. Ada batasan-batasan dan pengecualian yang dapat ditentukan dan diatur dalam perjanjian dan kerjasama dagang internasional baik secara bilateral maupun multilateral demi kepentingan-kepentingan tertentu yang lebih mendesak.
Termasuk dalam konteks pembatasan dagang terkait wabah COVID-19 ini, yakni pengecualian untuk melindungi kesehatan manusia, dan bukan dimaksudkan untuk tujuan yang bersifat diskriminatif. Kecuali kemudian oleh WHO atau WTO, langkah tersebut dinilai berlebihan atau tidak dapat diterima, maka kebijakan mungkin dapat diubah kembali.
Gazali Ahmad