Opini

Tolong Hentikan

• Bookmarks: 464774


Kalimat di atas yang terbersit pertama kali dibenak berhimpitan dengan kalimat bangga ketika membaca dan melihat banyaknya sidang tele, sidang online, sidang daring apapun namanya dilaksanakan di pengadilan apalagi yang tanpa didasarkan pembatasan jenis dan type perkaranya, kekhawatiran bertambah ketika di WA berseliweran tulisan tentang rekor sidang online, meski maksudnya baik akan tetapi dalam tulisan tersebut ada narasi perbandingan tentang banyak sedikitnya satu pengadilan/kejaksaan melaksanakan sidang online, yang tanpa disadari jika dimaknai secara sederhana akan menciptakan perlombaan melakukan sidang daring sebanyak-banyaknya antar pengadilan/kejaksaan saat wabah covid 19 merajalela.

Sidang daring merupakan terobosan luar biasa, mendobrak pemikiran legalitas kaku dari orang yang masih berfikiran tidak adanya dasar hukum sidang tersebut, wacana yang akhirnya bisa terlaksana. Mahkamah Agung c.q Dirjen Badilum dengan mendasarkan pada asas keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi (Salus Populi Suprema Lex. Esto) membuat aturan baru tersebut untuk melawan penyebaran/semakin mewabahnya virus covid 19.

Dalam tingkat pertama Pimpinan PN bahu membahu dengan aparat penegak hukum lainnya mewujudkan sidang daring, sangat luar biasa, akan tetapi “keluar biasaan” tersebut jangan dijadikan kelatahan untuk melakukan persidangan seluruh perkara perkara secara daring apalagi dengan maksud dibelakangnya untuk berlomba sebanyak-banyaknya melakukan sidang daring, karena hal tersebut sangat membahayakan jiwa aparatur pengadilan dan pihak terkait lainnya serta bertentangan dengan keinginan Pimpinan MA untuk menjaga keselamatan rakyat.

Mengapa berbahaya? Karena dengan masih dilaksanakannya persidangan di pengadilan jelas bertentangan dengan “pesan” pemerintah dan “seruan kemanusiaan” dari tenaga kesehatan agar semua stay at home, bekerja dari rumah, belajar dari rumah, ibadah dari rumah, bayangkan ibadah yang dilakukan diluar rumah secara berkelompok saja dihimbau untuk tidak dilaksanakan, dan bahkan pada prakteknya memang dihentikan maka menjadi “keanehan” jika sidang di pengadilan masih saja dilaksanakan.

Oleh karenanya dimafhumi jika MA cq. Dirjen Badilum memperbolehkan persidangan dilakukan dengan syarat yang ketat, karena pimpinan MA menyadari jika virus covid 19 sangat membahayakan terutama bagi aparatur pengadilan dan pihak terkaitnya, pimpinan MA menyadari jika persidangan di pengadilan tetap dilaksanakan bisa menjadikan wabah virus Covid 19 semakin tidak terkontrol. Kekhawatiran pimpinan MA jika ruang sidang di pengadilan menjadi ruang mematikan semakin nyata dengan diperbolehkannya sidang daring.

Apakah benar pimpinan MA menghendaki persidangan selain sidang e litigasi perdata dihentikan? Itu tentu pertanyaan yang muncul setelah membaca narasi di atas. Dalam SEMA 1 Tahun 2020 jelas pimpinan MA menginginkan selama wabah virus covid 19 ini belum berakhir persidangan di pengadilan (tingkat pertama) harus dihentikan, hal ini tergambar jelas dalam aturan angka 2 tentang Persidangan Pengadilan sebagai berikut :

  1. Persidangan perkara pidana, pidana militer dan jinayat tetap dilaksanakan khusus terhadap perkara-perkara yang terdakwanya sedang ditahan dan penahanannya tidak dapat diperpanjang lagi selama masa pencegahan penyebaran COVID-19 di lingkungan MA dan Badan Peradilan di bawahnya.
  2. Persidangan perkara pidana, pidana militer dan jinayat terhadap Terdakwa yang secara hukum penahanannya masih beralasan untuk dapat diperpanjang, ditunda sampai dengan berakhirnya masa pencegahan penyebaran COVID-19 di lingkungan MA dan Badan Peradilan di bawahnya.
  3. Terhadap perkara-perkara yang dibatasi jangka waktu pemeriksaannya oleh ketentuan perundang-undangan, Hakim dapat menunda pemeriksaannya walaupun melampaui tenggang waktu pemeriksaan yang dibatasi oleh ketentuan perundang-undangan dengan perintah kepada Panitera Pengganti agar mencatat dalam Berita Acara Sidang adanya keadaan luar biasa berdasarkan surat edaran ini.

Tegas dan lugas pimpinan MA mengejawantahkan “Salus Populi Suprema Lex. Esto”, meskipun dengan kalimat halus yakni penangangan perkara ditunda pada intinya MA menginginkan persidangan tidak dilaksanakan kecuali terhadap perkara yang Terdakwanya di tahan dan penahananya tidak dapat diperpanjang lagi. Sekali lagi perlu dinyatakan MA memberikan arahan persidangan dapat dilaksanakan terhadap perkara pidana yang Terdakwanya mau habis masa tahananya selain itu tunda, hentikan.

Tentu MA menyadari dengan diperbolehkannya pelaksanaan sidang untuk terdakwa yang penahannnya tidak dapat diperpanjang lagi maka ada resiko pelaksana sidang akan tertular atau menularkan virus covid 19 kepada satu dan lainnya, oleh karenanya MA memberikan pegangan kepada Hakim dalam pelaksanaan sidang tersebut dapat membatasi jumlah dan jarak aman antar pengunjung sidang (social distancing), Hakim dapat memerintahkan pendeteksian suhu badan serta melarang kontak fisik seperti bersalaman bagi pihak-pihak, dan MA memperbolehkan jika Majelis Hakim maupun pihak-pihak dalam persidangan dapat menggunakan alat pelindung berupa masker dan sarung tangan medis, sehingga bukan hal yang aneh jika Hakim terlihat bersidang menggunakan masker. Dan protokol persidangan dan ruang sidang steril ini semakin nyata dengan dibolehkannya sidang daring, yang tentu akan meminimalisir persentuhan langsung pihak-pihak dalam persidangan.

Kita patut bersyukur memiliki pimpinan MA yang menyadari jika keselamatan jiwa aparatur pengadilan adalah di atas segalanya, terlebih akses pelayanan kesehatan terhadap Hakim dan aparatur pengadilan serta masyarakat umumnya sangat mengkhawatirkan. Protokol keselamatan persidangan tersebut harus dilaksanakan pada tingkat bawah dengan seragam dan dilaksanakan tanpa “kekonyolan”, contoh kekonyolan misalnya dengan tetap melaksanakan persidangan manual maupun daring untuk seluruh perkara pidana tanpa melihat batasan yang ditetapkan oleh MA.

Perkara pidana yang terdakwanya tidak ditahan, perkara pidana yang masa penahanan terdakwanya masih panjang, perkara pidana yang baru dilimpah Kejaksaan tetap disidangkan, dan karena ada senjata baru kemudian latah perkara-perkara yang tidak memenuhi syarat SEMA 1/2020 tersebut disidangkan secara daring, apalagi pelaksanaan sidang daring tersebut dengan tujuan lain, misalnya untuk rekor dan tujuan show off lainnya, inilah salah satu bentuk “kekonyolan”, dan ini harus tolong harus dihentikan.

Akhirnya Salus Populi Suprema Lex. Esto dalam ruang persidangan hidup oleh Hakim/Majelis Hakim dan APH lainnya, harus disadari pelaksanaan sidang (pidana) secara daring apalagi manual secara membabi buta sangat membahayakan jiwa bersama, hentikan penyebaran wabah virus covid 19, hentikan jangan sampai kantor pengadilan dan ruang sidang pengadilan menjadi ruang penyebaran virus covid 19, tolong hentikan persidangan yang tidak memenuhi syarat SEMA 1/2020, tolong hentikan kekonyolan-kekonyolan yang bisa berakibat kematian, tolong hentikan karena dibelakang Hakim, Jaksa, Penasihat Hukum, saksi ada anak, isteri atau suaminya, tolong hentikan persidangan yang membati buta yang menyebabkan keselamatan mereka tergadai, hentikan, tolong hentikan.

Guse Prayudi

46 recommended
0 notes
4774 views
bookmark icon

Write a comment...

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *